Akhirnya ikhlas

Ibu membuka selotip di kaleng biskuit kelapa. Entah kenapa biskuit itu ada, padahal seisi rumah tidak terlalu suka rasanya. Aku bersiap untuk merepet jika itu hasil belian.
"Beli apa ya buat Mbah?" tanyanya.
Tumben Ibu menanyakan Mbah. Sejak pembatasan aktivitas karena korona, belum sekalipun Ibu menjenguk Ayahnya. Seringkali kalau diminta gantian jaga juga banyak mengeluhnya. Alasannya karena fisik Ibu suka begini begitu, katanya.
"Ngapain? Orang terakhir juga Mbah mah makannya udah Nestle." Laporan telatku dari hasil tugas menunggui Mbah beberapa hari yang lalu.
"Apa beli Quaker aja ya?" kata Ibu, sok ide. "Quaker masih ada teksturnya. Mbah udah gak bisa."
Percakapan ba'da sahur itu pun berakhir.
Adzan subuh berkumandang. Azka baru pergi ke kamar mandi. Aku, Ma'da dan Ibu sudah mau mulai shalat subuh, Ia baru lari ke masjid. "Apa-apaan," batinku.
Kami masih subuh raakaat kedua saat dia masuk rumah terburu-buru lalu naik ke kamarnya. Ba'da salam aku sudah siap mencecar: laki-laki, subuh terlambat, malah shalat sendiri di rumah.
Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun...
Ibu langsung histeris dan memelukku. "Teteh Ibu baru aja nanyain Mbah barusan mau dibeliin apa teteeh"
Sekian lama baru lagi aku melihat Ibuku nangis begitu. Aku selalu mencoba membayangkan bagaimana reaksinya kalau Mbah yang selama ini sakit tua dan cukup merepotkan akhirnya benar-benar pergi. Ternyata emosinya segitu.
"Tadi Aa waktu jalan ke masjid, liat ada Bang Amir ngejemput. Aa tanya ngapain ke sini, Aa malah ditanya balik 'emangnya gak dikasih tau? mbah meninggal'. Katanya disuruh ngejemput kita"
Ibu masih menangis sambil memegangi tanganku.
"Sstt... udah bu, udah waktunya... De Ma'da, gantiin bajunya De Jidda. Aa ambilin baju ganti sama kerudung Ibu. Ibu hayu ganti baju"
"Gak mau, mau gini aja" Ia bertahan dengan mukenanya.
"Yaudah atuh, lepasin dulu sebentar. Teteh yang mau ganti baju."
Aku sendiri mencoba tetap waras. Alhamdulillah sudah latihan. Kulihat hapeku yang memang disilent, ada missed call dari bibiku. 04.37, sepertinya kami sedang bersiap subuh. Yasudahlah... kumasukkan keperluan yang tadi ku absen ke tas, ganti baju dan ambil masker. Bapak baru sampai rumah beberapa saat aku selesai mengemas.
"Pak, Mbah Nida yang di Bondes meninggal" kukabari beberapa tetanggaku yang kutemui baru pulang dari masjid. Mendengar doa-doa dari mereka, entah kenapa aku mulai baper.
Di rumah Mamah, semua sedang membaca Yasin. Setelah menyalami Mamah tanpa mendekati jasad Mbah, aku turut membuka Qur'an. Setelah menyalami Mamah, Ibu memeluki saudara-saudaranya sambil menangis dan bercerita tentang firasat-firasatannya.
"Sudah kumpul semua anak, menantu, cucu?" Tanya omku setelah Yasin dan dzikir selesai dibacakan. Ia berceramah tentang betapa akhirnya Mbah meninggalkan kita semua, di hari yang mulia 17 Ramadhan, dan mengonfirmasi keikhlasan atas perginya Mbah.
Semua mengaku ikhlas. Beberapa sambil mengelapi air mata.

Rasanya kayak beberapa hari ini baru dapet ilmu merelakan dan mengambil hikmah dari yang meninggal duluan dan cara bakti sama orang tua, hari ini beneran disuruh praktik. Qadarullah...

Setelah semua urusan janaiz beres, aku makin sadar sesuatu: kemampuan mimpin doa itu penting. Walau secara syariat tidak diwajibkan berdoa bersama dengan suara yang dikeraskan --bisa berdoa masing-masing dalam hati--, namun kenyataan masyarakat masih banyak yang perlu dipandu dalam bermunajat.

Yah, semoga kami mendapat hidayah.

Comments

Popular posts from this blog

Belajar Bahasa Prancis #1 : Kata Ganti Orang (Pronom Sujet)

Rasanya Kuliah di Sastra Perancis...

DELF A2 – Je l’ai passée!