Origami
source : carajuki.com |
"Teh.." Kupanggil Kakak berjas yang paling dekat jaraknya denganku.
"Iya?"
"Gak bawa gunting sama lem..." sejujurnya aku tidak tahu apa yang akan kami lakukan. Kemarin mereka meminta kami membawa gunting dan lem. Aku baru ingat bahwa aku melupakannya saat teman-temanku sedaritadi sudah mengeluarkan dua benda itu. Aku takut dihukum. Tapi aku juga tidak mau melakukan sesuatu. Aku tidak mampu.
"Kita sekarang gak pake gunting, kok, kita akan bikin origami..."
Origami?
"Origami teh apa, Teh?"
"Melipat kertas" jawabnya pendek dengan senyum. Tidak seperti Kakak-kakak lain yang sedari pagi tadi terlihat serius, sama dengan ekspresi guru-guru kami. Ia melihat lagi ke arahku.
"Itu, kalau belum dapat, ambil kertasnya di Aa sebelah sana" sambil menunjuk satu orang lelaki dengan rambut dikuncir. Kalau tidak salah, anak-anak kelas satu meneriakinya 'A Genjiiieh'. Teman-temanku berlarian padanya, tapi aku mau diam saja.
Semua orang memegang kertas. Aku juga punya kertas yang diambilkan Rani tanpa kuminta. Tapi kutaruh saja di meja.
"Sudah punya kertas?" tanya Teteh itu lagi padaku.
"Ada, Teh"
"Oke... Perhatikan Teteh-teteh yang di depan ya..."
Agak susah sebetulnya melihat Teteh yang berada di depan dari tempat dudukku di ruang kedua yang dibuka pembatasnya dengan ruang pertama tempat hampir semua Teteh dan Aa itu berkumpul. Ditambah lagi dengan teman-temanku yang dengan ricuhnya berdiri sampai naik ke kursi dan meja semakin membuatku tak tahu apa yang harus dilakukan. Aku juga memang tidak berniat melakukan sesuatu.
Kudengar, katanya "Lipat seperti ini, lalu seperti ini, jadinya seperti ini"
Aku tidak mengerti.
Teteh yang tadi mendekatiku lagi. "Bisa?" tanyanya. Aku belum melakukan apapun.
"Ini. Coba pegang kertasnya, lalu tekan-tekan" sambil melipat kertasku. Instruksinya, aku hanya tinggal menekan kertasnya menggunakan telunjuk dan ibu jariku.
Teman-temanku yang lain mendekatinya dan bertanya ini itu. Aku melihat Bagas, sepertinya Ia kesulitan tapi tidak bertanya dan masih berkutat sendiri. Hasilnya tidak sesempurna yang dibuat Teteh di depan.
"Ah... Maneh mah teu bisaeun.." kataku padanya. Ia tidak merespon. Ia tidak bisa membenciku dan balik mengejekku karena Ia terlalu serius. Sambil melihatnya, aku masih belum melakukan sesuatu yang lain pada kertasku. Aku tidak mampu. Nanti sajalah biar Teteh itu yang membantu, daripada aku membuat sesuatu yang jelek.
Kulihat Teteh itu berjalan ke dekat pembatas ruangan. Ia meninggalkanku dan lebih memperhatikan apa yang dilakukan Teteh-teteh di ruang pertama. Ia tidak memperhatikanku lagi.
Sudahlah, tidak ada yang bisa aku lakukan. Mungkin Ia juga tahu bahwa tidak ada yang benar-benar bisa aku lakukan walau ini kali pertama mereka datang kesini. Tidak seperti teman-temanku yang Ia peringatkan ketika tidak duduk rapi dan belum menulis; saat aku bilang aku belum menulis, ia hanya tersenyum sambil mengangguk. Syukurlah, aku tidak capek.
Tapi, kalau begini terus, origamiku tidak akan selesai... Sudahlah, aku ikut maju saja.
Siska kelihatannya kesulitan juga padahal Ia kelihatannya sudah bertanya pada Teteh itu. Aku melihat lipatannya, sedikit lagi bentuknya mirip dengan kertas yang dipegang Teteh yang di depan. Tapi tetap saja, Ia kesulitan.
"Ah... Maneh mah teu bisaeun.." kataku padanya. Tapi ia tidak menghiraukanku. Sepertinya hari ini semua orang sangat berkonsentrasi hingga tidak ada yang bicara padaku. Syukurlah, itu berarti tidak ada kata-kata yang menyakitiku walau barangkali hanya sejam-dua jam. Tapi, rasanya sepi.
Teteh itu sedang duduk di atas meja. Kelihatannya serius juga sambil sesekali menjawab pertanyaan dan membantu teman-temanku yang lain.
"Teteh, ieu jadina kieu?" aku mencoba bertanya juga pada Teteh itu. Lipatan kertasku belum berubah sejak tadi.
"Ini. Pegang kertasnya begini, lipat kesini, lalu tekan-tekan sendiri. Yang rapi, ya..." Instruksinya masih sama. Aku hanya tinggal menekan kertasnya menggunakan telunjuk dan ibu jariku. Tapi aku tidak benar-benar mengerti, aku hanya melipat dan menekan-nekan kertas sebisaku.
"Bukan, ini kesini, kan kelihatan kan ada garis ini? Nah, coba lipat yang lurus sesuai garisnya." katanya sambil membuka hasil lipatanku dan menunjuk garis bekas lipatan sebelumnya. Aku masih belum paham. Teteh itu tidak memperhatikanku lagi jadi aku diam saja.
Kulihat kertas teman-temanku, bentuknya sudah semakin rumit, tidak seperti milikku. Sangat terlihat bedanya. Lipatanku pasti salah, tapi aku tidak tahu cara memperbaikinya. Mereka pasti tidak mau membantuku, jadi aku harus menunggu Teteh melihatku. Tapi sepertinya, Teteh itu juga kesulitan. Ia tidak lagi tersenyum, Ia semakin sering bertanya pada Teteh yang lain. Ia juga melihat ke Aa-aa yang tidak melakukan apa-apa dengan raut seperti merengek. Teman-temanku bahkan jadi sedikit membantunya dan membantu teman lain yang juga kesulitan.
Sementara aku diam saja. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku juga tidak mau melakukan sesuatu. Aku tidak mampu.
Teman-temanku mulai memakai tasnya. "Teteh, ini dikumpulin atau dibawa pulang?" tanya Bagas sambil berteriak dan mengacungkan origami berbentuk burung pada Teteh yang di depan.
"Boleh dikumpulin, boleh dibawa pulang... Yang mau mengumpulkan, beri nama dulu di sayapnya."
"Ah, aku mah mau dibawa pulang aja, ah..." kata Siska.
Aku mengambil tas lalu berjalan ke arah Teteh itu. Kelihatannya origami miliknya sedikit lagi selesai juga. "Teteh, ieu jadina kieu?" kataku sambil menunjukkan kertasku yang bentuknya belum berubah lagi. Ia mengambilnya lalu melipat-lipatnya.
"Teteh, abi tos beres..." Bagas mendatangi Teteh. "Mana coba hasilnya?" tanya Teteh. "Nih..." Bagas mengangkat dua buah burung kertas. "Waaah... Mantap!" seru si Teteh.
"Teteh, abi bade kos si eta.." kataku padanya. Teteh itu tidak lagi merespon, ia fokus melipat. Teman-temanku yang lain mulai menyalami semua Kakak berjas. Origamiku hampir beres juga, tapi aku langsung menyalaminya saja. Ini sudah waktunya pulang walau sebetulnya masih ada juga temanku yang masih berkutat dengan kertasnya masing-masing.
Ya, aku pamit saja. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Mereka tahu aku tidak mampu.
Keterangan
Teteh : sebutan untuk kakak perempuan dalam Bahasa Sunda
Aa : sebutan untuk kakak laki-laki dalam Bahasa Sunda
"Ah... Maneh mah teu bisaeun.." : "Ah... Kamu mah tidak bisa (tidak mampu)"
"Teteh, ieu jadina kieu?" : "Teteh, ini jadinya begini?"
"Teteh, abi tos beres..." : "Teteh, aku sudah beres (selesai)"
"Teteh, abi bade kos si eta.." : "Teteh, aku mau kayak (punya) si itu (dia)"
Comments
Post a Comment