Semarang!
Hari ketiga di kunjungan kedua kalinya di kota Semarang. Panasnya masih belum bisa kutaklukkan. Syukur yang besar selama tiga hari ini selain fokus musyawarah instruktur kami sempat jalan-jalan (yang lebih tepatnya jajan) di sekitaran lokasi tempat kami menginap. Yaa walau gerobak-gerobaknya berisi jajanan yang tidak asing bagi kami terlebih mereka berlabel "Bandung" dibelakang nama produknya. Berasa tidak pergi menjelajah provinsi lain...
Waktu pertama kali ke Semarang, aku sidah mencoba bepergian dengan Trans Semarang, yang tidak terlalu beda dengan Trans Metro Bandung atau biasa kami sebut Damri di Bandung selain kondekturnya seorang perempuan. Aku juga mencoba tahu petis dan lunpia Semara yang kesannya menurutku.. tidak terlalu buruk juga. Bukan suka, sebatas masih bisa menerima. Aku juga melihat lawang sewu, sebatas lewat.
Sekarang, tempat pertama kami menginjakkan kaki adalah Simpang Lima, Masjid Baiturrahman. Air disini tidak membuat badan kami terasa bersih setelah semalaman perjalanan dari Bandung dan gerahnya udara. Begitu siang, Masjid ini ramai dan kotak amal di dekat WC dan boks mukena tiba-tiba ada yang menjaga dan minta diisi jika kita memanfaatkannya.
Aku makan setiap suguhan nasi di pagi dan siang dari panitia, namun malamnya kami makan di luar selepas maghrib. Bakso 6000 rupiah yang berisi semangkuk penuh, cilok yang berasa beda, bakso mahal yang isinya daging cincang dan potongan besar daging sapi, serta sate ayam lesehan yang kurang penerangan sehingga ranjau acar cabai-timun-bawang tidak terdeteksi mata.
Ah iya, selain jajanan yang membuat saya terkesima adalah sarapan yang disuguhkan. Menu nasi uduk dengan tempe orek, potongan telur dadar, suwiran ayam yang kutebak di rebus dan sambal atau nasi beras merah goreng dengan urap daun singkong dan daun labu siam, tempe, tahu, bakwan dan sambal. Jarang sekali ada suguhan beras merah... Apakah ini khas Semarang?
Perasaran, apakah lain waktu saya bisa ke Semarang lagi atau tidak..
Waktu pertama kali ke Semarang, aku sidah mencoba bepergian dengan Trans Semarang, yang tidak terlalu beda dengan Trans Metro Bandung atau biasa kami sebut Damri di Bandung selain kondekturnya seorang perempuan. Aku juga mencoba tahu petis dan lunpia Semara yang kesannya menurutku.. tidak terlalu buruk juga. Bukan suka, sebatas masih bisa menerima. Aku juga melihat lawang sewu, sebatas lewat.
Sekarang, tempat pertama kami menginjakkan kaki adalah Simpang Lima, Masjid Baiturrahman. Air disini tidak membuat badan kami terasa bersih setelah semalaman perjalanan dari Bandung dan gerahnya udara. Begitu siang, Masjid ini ramai dan kotak amal di dekat WC dan boks mukena tiba-tiba ada yang menjaga dan minta diisi jika kita memanfaatkannya.
Aku makan setiap suguhan nasi di pagi dan siang dari panitia, namun malamnya kami makan di luar selepas maghrib. Bakso 6000 rupiah yang berisi semangkuk penuh, cilok yang berasa beda, bakso mahal yang isinya daging cincang dan potongan besar daging sapi, serta sate ayam lesehan yang kurang penerangan sehingga ranjau acar cabai-timun-bawang tidak terdeteksi mata.
Ah iya, selain jajanan yang membuat saya terkesima adalah sarapan yang disuguhkan. Menu nasi uduk dengan tempe orek, potongan telur dadar, suwiran ayam yang kutebak di rebus dan sambal atau nasi beras merah goreng dengan urap daun singkong dan daun labu siam, tempe, tahu, bakwan dan sambal. Jarang sekali ada suguhan beras merah... Apakah ini khas Semarang?
Perasaran, apakah lain waktu saya bisa ke Semarang lagi atau tidak..
Comments
Post a Comment