PROGRESIVITAS PEREMPUAN DALAM LINGKARAN


Di Indonesia, ketika sekumpulan perempuan berkumpul, orang mengasosiasikannya dengan ‘geng rumpi’ atau ‘ibu-ibu arisan’. Ketika perempuan berjilbab yang berkumpul, orang menyebutnya ‘ibu-ibu pengajian’. Walaupun tidak semuanya seperti itu, dalam artian, penyematan kata aktivitas dibelakang subjek belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Perempuan yang berkumpul tidak selalu dalam rangka bergosip, maupun sekedar mengaji agama.

Pandangan sosial dan sejarah mengenai perempuan yang lemah lembut, mencintai keindahan dan mencampurkan perasaan dalam cara berpikirnya membentuk konstruk sosial bahwa perempuan adalah individu rumahan yang tidak sebaiknya banyak mengambil peran dalam pengambilan keputusan.

Duduk bersamanya perempuan dalam sebuah lingkaran, yang merujuk pada formasi duduk yang lazim dilakukan dalam suatu forum atau pertemuan, barangkali dapat disebut sebuah kemajuan.
Bentuk lingkaran dalam formasi duduk pada rapat, diskusi, pengajian, pembelajaran maupun kegiatan santai dapat memicu kondusivitas curah pendapat. Untuk membentuk lingkaran yang utuh tidak terputus, posisi antar personal tidak mungkin berjauhan. Selain kedekatan posisi tubuh, secara tidak langsung kedekatan emosional pun terbangun dengan tidak adanya penghalang dalam berkomunikasi dengan tatap muka langsung.

Walaupun begitu, saya sendiri tidak bisa secara spesifik memberikan pernyataan gambaran bagaimana saat didirikannya Poetri Mardika, organsasi perempuan pertama yang didirikan tahun 1912 maupun Aisiyah, organisasi perempuan Islam pertama yang bersifat otonom dari Muhamadiyah yang didirikan tahun 1917; apakah juga duduk dengan formasi melingkar ketika berdiskusi atau tidak. Yang ingin saya ambil benang merahnya adalah dengan berkumpulnya perempuan dalam sebuah bentuk yang cocok untuk mengemukakan gagasan, adalah sebuah kemajuan pemikiran dan budaya yang tidak boleh diremehkan.

Kemudian dengan keberanian mencurahkan pemikirannya ini perempuan membutuhkan wadah aktualisasi berupa organisasi, lembaga, maupun komunitas yang lebih dari sekedar kumpulan arisan. Disinilah kemampuan memimpin dibutuhkan, yang dengan seiring berjalannya kiprah perempuan ini sifat dan kemampuan memimpin akan semakin terasah.

Perlunya pewadahan kepemimpinan perempuan ini, saya rasa tidak selalu harus menduduki jabatan sebagai kepala, pemerintah maupun pengurus suatu perkumpulan. Posisi 30% di semua lembaga pemerintah maupun non-pemerintah untuk diisi oleh kaum hawa yang diupayakan para pegiat kesetaraan dan keadilan gender, bagi saya bukanlah sebuah manifestasi dari pewadahan kepemimpinan perempuan.

Dalam penyaluran kepemimpinan perempuan tidak sama artinya dengan meninggalkan fitrah sebagai perempuan secara biologis beserta tugas domestiknya. Kepemimpinan ini kurang lebihnya dapat disalurkan dalam lingkaran keluarga, masyarakat dan agama. Tidaklah kecil dan remeh apa-apa yang dipimpin perempuan ini karena dampak dari kepemimpinannya dapat berimplikasi besar terhadap peradaban.

Kepemimpinan seorang anak perempuan di rumah berguna untuk berbakti kepada orang tua dan berhubungan dengan saudara-saudarinya, di masyarakat ia menjadi pandai bergaul dan mengatur diri serta mempersiapkan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan dirinya. Saat ia beranjak dewasa, tugasnya menjadi istri yang berbakti kepada suaminya, mengatur tata kelola rumah tangganya serta mendidik anak; di lingkungannya ia dapat berkontribusi menjadi pemberi solusi permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Dalam mendirikan agama, sudah menjadi kewajiban khususnya dalam Islam untuk saling menyampaikan kebenaran dan ilmu yang bermanfaat, begitupun berlaku dalam agama lain; menjaga kerukunan hidup beragama dan rasa toleransi. Semua bisa dilakukan tanpa mengabaikan fitrah dan tugas pokoknya serta haknya sebagai perempuan yang butuh mengembangkan diri dan mengambil andil dalam kehidupan bermasyarakat.

Kiprah perempuan di luar rumah bukanlah untuk mengalahkan superioritas apapun atau serta merta meninggalkan tugas rumah tangga, melainkan untuk mengembangkan dirinya, berkontribusi bagi masyarakat, menjadi penyeimbang, membantu menyelesaikan permasalahan terkait isu khususnya keperempuanan, anak dan keluarga walau tidak menutup kemungkinan kontribusi di ranah sosial, ekonomi, politik, hukum, ketahanan, dan lain sebagainya juga dapat ia digarap.

(545 kata)

Sumber Bacaan

Dr. Adian Husaini, Seputar Paham Kesetaraan Gender : Kerancuan, Kekeliruan dan Dampaknya, (Depok : Adabi Press, 2012)

Comments

Popular posts from this blog

Belajar Bahasa Prancis #1 : Kata Ganti Orang (Pronom Sujet)

Rasanya Kuliah di Sastra Perancis...

DELF A2 – Je l’ai passée!