Menjelang Empat November

Sebulanan lalu si Bapak membuat pernyataan. Satu ayat dari kitab suci ia sebut bualan, bahan-bahan.Yeuh, si Bapak.
Reaksi pertama mendengar berita penistaan agama oleh si Bapak, yang lebih spesifiknya menganggap bahwa QS. Al- Maidah : 51 adalah ayat yang direkayasa-dipolitisir ummat Islam supaya tidak memilih pemimpin selain muslim; saya hanya beristighfar datar. "Apa-apaan, ngapain juga kami asal nyomot ayat, saya sih sebagai Hamba mematuhi apa yang Allah perintahkan, bagi saya terjemahan bahasa Arab ke Indonesia di Qur'an yang beredar cukup jelas kok" dan pikiran-pikiran lain di otak saya yang mengasosiasikan ke-sok-tahu-an si Bapak. Sudah begitu saja. Tidak ada api maupun apa, karena saya pribadi hanya melihat sekilas berita di dunia maya.

Lalu makin ramai isu, banyak raga berani bertindak. Diawali ajakan hasil musyawarah yang saya kurang tahu entah sudah berdasar lembaga atau hanya beberapa individu yang kemudian berkomitmen mengajak lembaga-lembaga, bersatulah organisasi yang kemudian dijuduli "Generasi Muda Jabar", pergerakan massa Islam menuntut si Bapak tingkat provinsi. Sebelum dicanangkan, aksi ini dipikirkan matang-matang. Khawatir sejarah '65 terulang. Akhirnya, dengan izin Allah, niat menuntut pemerintah menegakkan hukum atas penistaan agama dengan aksi dilaksanakan. Bukan persoalan etnis, politik, atau kepentingan apapun, fokus membela agama yang diusik adalah tujuannya. Saya sendiri tidak ikut menikmati hujan bersama di Bandung, 29 Oktober itu.

Lalu berlanjut isu aksi nasional, di Jakarta. Besok.

Timbul perasaan di hati saya untuk mengecam. Tapi untuk bergerak saya ragu, tidak ada pikiran. Entah setan malas mana yang mempengaruhi, atau memang saya yang lelah berkepanjangan karena aktivitas pikiran beberapa waktu lalu.

Malam kemarin, Bapak saya mengirimi saya pesan via WhatsApp


Setahu saya, tidak biasanya beliau aktif malam-malam. Lebih tepatnya, Bapak saya hampir tidak pernah membeli paket data, jadi tidak pernah internetan selain dari sumber koneksi gratis. Tidak biasanya pula menghubungi saya via chat, seringnya sms atau telpon. Tidak biasanya juga membicarakan urusan 'pergerakan' selain empat mata di rumah sambil menonton berita di televisi. Dan yang beliau tanyakan adalah kampus, bukan saya.

Sejenak saya bingung harus menanggapi apa. Kampus rasanya tidak memanas karena apapun; paling-paling sibuk acara, pemilihan ketua dan anggota badan intern kampus, tugas, begitu-begitu. DKMnya? Saya kurang tahu, saya kurang mengikuti perkembangan isu diantara mereka. Tapi dari status akun DKM atau akun dakwah lain yang teman-teman saya 'sukai' di Line, isinya kurang lebih tentang adab sehari-hari saja, saya belum melihat seruan aksi. Allahu a'lam sih ya, tapi bagaimana ini?

Saya pun menjawab seadanya. Sambil mempersiapkan jawaban jika Bapak saya menanyai kontribusi saya dimana atas kasus ini. Entah takut, tidak berani, malas, halangan finansial yang sedang lumayan krisis, halangan fisik (atau lebih tepatnya psikis) yang sedang agak tidak kondusif atau apa. Rasanya sulit bereaksi selain untuk curhat begini. Dan memang dari organisasi saya, perempuan dihimbau tidak ikut turun, namun turut menyiapkan logistik. Tapi yang saya mampu sepertinya hanya doa, tidak seberapa besar dari yang lain, tapi mudah-mudahan Allah menerima.

Lalu saya membayangkan, tipe ayah yang seperti apa Bapak saya ini? Akankah seperti Bapaknya Bu Elly Risman yang menyuruhnya ikut demonstrasi, Katanya, ayahnya menyuruh ia kembali demo saat ia pulang karena takut "Lebih baik kamu mati di depan Istana sana daripada mati karena nyamuk di kamar", kurang lebihnya pekataannya seperti itu.

Ternyata tidak. "Jangan, jauh" katanya. Lalu saya melihat diri saya lagi. 'Mana sisi diri kamu yang bisa nekat?' Rasanya mau menangis saat tidak bisa mengondisikan diri untuk siap.

Menyoal aksi, entah kenapa bayangan kericuhan terbayang di benak saya, mungkin ini yang menyebabkan banyak penghalang gerak diri. Tapi mudah-mudahan tidak, selama 'polisi tidak alay' kalau kata teman saya; dan awak media tidak membumbui hal yang tidak perlu. Pengalaman saya ikut aksi, dulu hanya ikut seru-seruan dan penasaran, kasusnya pelarangan berjilbab pelajar Bali yang demonya di Jakarta waktu itu. Hasilnya bagi saya, kulit coklat kemerahan, teredukasi soal kasus larangan jilbab dan silaturrahim. Namun lebih jauhnya, tuntutan kami untuk melegalkan penggunaan jilbab di kalangan pelajar putri Bali dikabulkan. Itu sih ya... Tapi sepertinya kali ini akan beda. Mudah-mudahan, aksi nasional besok berjalan lancar dan tuntutan kami untuk menindak secara hukum penista agama dapat dilaksanakan.
QS. Al-Kafirun 1-6

Sekali lagi, bukan; bukan urusan etnis yang jadi soal, bukan urusan perbedaan agama yang jadi soal, bukan persoalan ketidaksukaan atas diri si Bapak, apalagi politik. Tapi sikap atas perlakuan yang tidak semestinya atas prinsip agama, kita lihat QS. Al-Kafirun ayat 1-6, bagaimana garis bergaul dan toleransi antar agama yang diatur dalam Islam.

Lalu, apakah ini hanya karena statement si Bapak tanggal 27 September 2016 saja? Tidak, mudah-mudahan kasus itu bisa jadi pelajaran kedepannya, terutama kepada pemerintah untuk menegakkan hukum agar tidak terjadi lagi persoalan penistaan agama dikemudian hari. Tidak selesaikah urusan ini dengan pernyataan maaf? Permintaan maaf pasti diterima, tapi 'kan tetap saja hukum ya hukum, mesti dijalankan sesuai undang-undang yang berlaku.

Agak OOT sedikit, dari film Before the Flood, film dokumenter National Geographic tentang perubahan iklim yang tokoh utamanya Leonardo DiCaprio ada dialog yang intinya, pemerintah/presiden sebagai publik figur akan melakukan apa yang disuarakan oleh rakyat. Jadi kita mesti bersuara soal ini!

Oh iya, sebagai salahsatu bentuk dukungan kita untuk berkontribusi dalam memperjuangkan Islam, hayu kita tandatangani Petisi Online Dukung MUI Penjarakan Ahok yang di ajukan FPI untuk Kepolisian dan Kejagung RI. Jangan sentimen FPInya, ini perjuangan kita bersama ummat Islam loh!

Semoga apa-apa yang kita upayakan dengan berbagai cara ini mendapatkan berkah Allah... Selamat berjuang yang ke Jakarta 4 November! Fii amanillah...


*penggunaan samaran 'si Bapak' tanpa maksud meninggikan atau merendahkan yang bersangkutan. Hanya saja saya kurang nyaman menulis dengan nama asli maupun panggilan bekennya.

Comments

Popular posts from this blog

Belajar Bahasa Prancis #1 : Kata Ganti Orang (Pronom Sujet)

Rasanya Kuliah di Sastra Perancis...

DELF A2 – Je l’ai passée!