Bandung Malam, Sekali
Cobalah,
menikmati semangkuk mie instan dengan telur di kedai gerobak diatas trotoar. Setengah
matang atau matang kuningnya, bilang saja pada si Amang. Dua buah cabe rawit hijau
digunting langsung saat mie tersaji. Bersama kawan, 16 derajat suhu udara terasa nikmat.
Perhatikan,
tante bercelana ketat motif leopard di sisi jalan itu menunggu mobil yang
mendekat. Sementara seorang gadis menunggu gelisah di dalam angkot hijau yang
mengetem. "Itu angkot yang bergoyang, bukan?" Tanya temanku. Aku
tidak tahu, ada kaki bersepatu hak tinggi di dekat pintu. "Jika bagi
pemerintah mereka adalah sampah, buat saya mereka itu lahan dakwah"
Suara
kereta bergemuruh.
Tak kalah riuh dengan suara tawa kami yang geli akan lobi politis dari
seseorang diujung telpon. Ya, menurut mereka kami memang pintar dan kuat, tentu
percakapan itu hanya guyon belaka.
Semangkuk telah bersih. Segelas teh tawar yang sudah kehilangan asapnya siap untuk diminum sekali teguk. Sebungkus kerupuk dan sepiring roti bakar sebagai makanan penutup.
Pedagang nasi goreng dan ayam
penyet sebelah sudah mulai menggulung tenda dan meminggirkan gerobaknya. Kami
masih terdiam mencerna santapan kami barusan.
“Mang, garpit sabungkus!” teriak gadis yang berdiri dekat pohon beberapa meter dari tempat kami. Kutebak ia masih berusia belasan walau aku tidak dapat melihat jelas wajahnya. Ia mengenakan kemben merah
dan rambutnya dicepol. “Euweuh, béak!”
teriak balik si Amang. Penolakan pesanan rokok ini entah jujur karena kehabisan barang atau mencegah gadis itu menikmati racun favoritnya.
Amang mungkin lebih tua dari
bapakku, aku membayangkan perasaannya melihat perempuan-perempuan ini
berkeliaran setiap malamnya.
Comments
Post a Comment