Dear future partner


Saya dapet cerita tentang seseorang yang sudah punya gambaran ingin punya sosok istri seperti apa. Makanya ketika ada seorang perempuan yang kita kira akan jadi jodohnya berkata bahwa dia tidak sesuai dengan kriteria yang sudah digambarkan lelaki tersebut yang mana disebutnya seperti Aisyah. Bukan maksudnya si perempuan ini tidak baik atau tidak sepadan... Tapi kualifikasinya bagus dalam hal lain.

Kemudian saya mikir. Profil shahabiyah manakah yang saya ikuti atau tidak sengaja mirip? Lalu, apakah saya harus punya harapan mengenai profil laki-laki (terlepas dari fisik) yang saya harapkan?

Hmm

Beurat lebih daripada rindu.

ridakoh.deviantart.com

Aseli gak kepikiran sebelumnya mengenai ini. Dulu waktu masih Tsanawiyah-Aliyah dimana imajinasi sagat luas sepertinya hampir semua perempuan termasuk saya punya dream husband dan dream wedding walaupun ingus mereka baru pada kering. Begitu mau masuk kuliah, saya lupakan imajinasi tersebut dan bayangan mau jadi apa abis kuliah karena sudah mulai realistis dan saya otewe menjadi orang yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.

Kalo gak salah, waktu saya baru transisi jadi baligh itu target usia menikah sekitar 21-22 tahun. Kisaran usia setelah beres kuliah S1. Tapi belom beber-bener kepikiran mau lanjut kuliah apa kerja. Mikirnya cuma gak mau terlalu tua.

Realitanya... Usia saya sekarang akan menuju 21 dan insyaallah sebentar lagi pamitan sama kampus. Sementara pikiran nikah... Makin jauh!

Gak sejauh itu sih... Cuma sedikit diundur aja. Karena mempertimbangkan aktivitas sekarang ini yang bagi saya membutuhkan komitmen tinggi dan khawatir kalau dijalani sambil berkeluarga jadi sulit untuk full menjalankan amanah (jadi istri juga amanah ‘kan?) disisi aktivitas luar dan bakti ke suami. Maksudnya, ya Allahu a’lam sih kemudian kalo saya nikah akan gimana... Harapan saya setidaknya saat ini saya fokus organisasi dulu sampai habis periode. Setelahnya akan lanjut atau tidak berorganisasi dan langsung menerima pinangan atau tidak, hanya Allah yang tau.

Jadi keinget waktu saya masih Aliyah dan ngobrol dengan kakak alumni tiga tahunan diatas saya yang bahasannya berujung ke pernikahan. Lalu saya bilang “Saya mah masih kecil kak, jauh ke soal itu mah”. Beliau menjawab sambil pandangannya ke langit-langit ruang OSIS #tsah “Eh, gak sejauh itu loh. Gak akan kerasa. Jadi harus tetep siap-siap”. Jawabannya bikin saya diem karena gak tau harus ngomong apa dan gak bisa ikutan ngebayangin. Dan baru kepikiran sekarang L

Melihat pernikahan keluarga saya, teman-teman, tetangga, sampai dalam cerita fiksi... Semua ajaib. Awalnya. Hahahaha. And that’s the beginning of their adventure. And based on their story, I learn a lot. Thanks guys!

Betapa pentingnya pengetahuan fiqh munakahat, pengetahuan dan komitmen pengasuhan anak, komunikasi dan ‘retorika dakwah’ personal, managemen waktu dan harta, juga MENTAL. Masak, nyuci, beberes, nyetrika, itu bukan cuma tanggungan perempuan yang kudu bisa... Laki-laki juga mesti mampu. Dan yang saya sadari, sebisa-atau tidak bisanya melakukan pekerjaan rumah tangga, nanti juga akan belajar dan membiasakaan lagi karena dua individu yang hidup bersama itu pasti punya tradisi yang berbeda dalam melakukannya. Tapi mental...

Heuuu

Menikah itu bukan cuma menyatukan dua hati, tapi juga dua keluarga. Kata orang-orang. Yes sepakat! Belum lagi dua kultur, dua suku kalo beda, dua negara kalo beda juga, tapi yang bikin saya pribadi deg-degan adalah : dua orangtua.

Monmaap, isu mertua nyebelin itu cukup melekat hahaha. Saya hidup dengan orangtua yang masing-masing mertuanya tidak nyebelin dalam artian gak ngejelek-jelekin pribadi Bapak dan Ibu sayanya, hanya saja sepertinya Bapak dan Ibu saya agak kurang cocok dengan kulturnya aja dari sepengelihatan saya. Kalo perlakuan dan pendidikan orangtua saya ke saya sendiri lebih cenderung demokratis... Kesadaran dan pembiasaan diri saya dapatkan dari luar rumah. Mau apa-apa terserah, asal paham dan siap nanggung konsekuensi. Lalu di usia sekarang sebagai anak pertama, saya dilibatkan dalam menentukan pertimbangan yang ada di keluarga dan jadi penengah. Nah, kalo gak dapet ‘pemimpin’ dan ‘badan penasihat’ yang beda... Gimana yah?

Kebayang makanya ketika dalam keluarga tidak dibekelin pendidikan untuk berkeluarga, repoot. Sayapun jadi ngaca sebagai kakak yang punya adik laki-laki bahwa saya nanti kalo jadi kakak ipar jangan bikin susah istri adik saya wkwk. Saya juga nanti mau ngingetin ke Ibu dan adik saya, bahwa baktinya laki-laki itu tetep ke Ibu dan baktinya istri itu ke suami; jangan sampai Ibu saya ngapa-ngapain menantunya dalam artian menasihati dengan cara yang kurang ahsan karena tanggungjawab pendidikannya ada di adik saya. Itulah juga maunya saya nanti diperlakukan oleh keluarga suami saya hahaa.

Fiuh.. Panjang geuning.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Belajar Bahasa Prancis #1 : Kata Ganti Orang (Pronom Sujet)

Rasanya Kuliah di Sastra Perancis...

DELF A2 – Je l’ai passée!