Dear future (orang yang bermaksud baik)

Semua orang punya satu titik dimana ia merasa terkesima dengan jalannya menemukan pelabuhan cinta. Dengan kompas dan intuisi navigasi hidup manusia punya rutenya masing-masing hingga akhirnya mencapai daratan di tengah –atau ujung- laut takdir.

Saya.. entahlah.

Urusan jodoh yang katanya di tangan tuhan juga katanya perlu diikhtiarkan. Tidak seperti hidup dan mati yang sudah digaris patenkan, urusan teman hidup dan surga-neraka garisnya lebih fleksibel bergantung pada usaha dan kemauan manusia.

Iyakah? Jangan tanya saya!

Just wondering... the who, when, and how.

Merencanakan jodoh dengan presisi terdengar cukup mengerikan bagi saya seolah mendahului ketentuan Tuhan. Walau barangkali bisa saja, tapi apakah kemudian jalannya diberkati?

Kemudian saya memperhatikan pasangan-pasangan disekitar saya yang berhasil ke pelaminan bukan sekedar bagai tamu yang ikut foto bersama, tapi jadi yang ‘di-hajat-in’. Apakah mereka mirip physically, mentally, habitually, atau entah barangkali mereka disatukan untuk benar-benar saling melengkapi karena beda jauh langit dan bumi. Ngeri lagi...

Agak out of topic dikit. Saya gak sepakat dengan tulisan-tulisan page anti pacaran yang tapinya malah baperan. Kontennya mungkin bisa sekonsep dengan apa yang saya yakini, tapi dari cara penyampaiannya bikin saya ilfeel. Dan ya, saya bukan tipe perempuan yang berdialog macam akhwat yang ada di postingan pagenya, dan saya cenderung ngeri sama laki-laki yang ngomongnya kayak ikhwan yang berdialog sama si akhwat di postingan page tersebut. Berdialektika masalah jodoh dan jenjang pernikahan panjang-panjang dengan bahasa yang unyu.. Aduh kalo saya sih no. Walaupun saya unyu dan suka ngomomng unyu, tapi urusan ini Aa/Abang/Mas/Akhi/Oppa unyu-unyuannya sono sama Bapak aja.

Akhir Oktober lalu di Lampung, saya ditanya teman saya: sudah ada yang menyampaikan niat baik belum?


Saya tanya kenapa. Katanya, lazim bagi mahasiswi yang sudah beres sidang didatangi orang yang bermaksud baik.

Saya suka lupa poin ini. Bener-bener ujian tersendiri sih urusan orang bermaksud baik. Gak kayak kalo kita mesti milih mau masuk sekolah negeri atau swasta, milih kuliah atau kerja, mau ngebaso apa beli nasi yang konsekuensinya udah bisa kita prediksi. Kalau jatah hidup kita 100 tahun, berarti ¾nya bakalan kita jalani sama si orang yang bermaksud baik itu. Sulit kita prediksi kebaikan apa yang menghampiri kita. Cukup baikkah, membuat baikkah, perlu baikkah, memang baikkah, semua misteri.

Hmm...

Inginnya sih gak pusing soal ini. Sempet pusing sekejap, ‘ingin se marrier aja’ (walau gak tau siapa yang mao ama sayah) waktu akhir-akhir nulis skripsi sampai menjelang sidang. Saat pada waktu itu ada rumor beberapa temen akan nikah dan juga undangan  lagi banyak banget, sampai ada tiga hajatan dalam satu hari. Udah mau bodo amat dengan amanah toh semua orang juga tidak peduli. 

Tapi kemudian alhamdulillah saya waras lagi udah sidang mah hahaha.

Disatu sisi saya orangnya lebih suka apa-apa terrencana, walau sebetulnya saya gak punya rencana jangka panjang kayak orang-orang ambisius yang bikin to do list untuk hidupnya. Gak enak aja tapi kalau apa-apa dadakan. Dadakan beda dengan kejutan loh ya. Menikah dengan orang yang gak kita kenal samsek, belom pernah ketemu pula, di usia sekarang yang sabun dan odol aja masih make milik jamaah yang ada di kamar mandi rumah, akad less than three months since knowing each other is dadakan. Instan. Bukan berarti menafikkan kalo jodoh Allah yang ngatur sih. Menurutku itu lebih berresiko.

Saya menyukuri mindset saya awal masuk kuliah untuk jangan dulu mikirin nikah. Masih muda mending jalani waktu untuk cari ilmu, pengalaman dan bakti sama orangtua. Secara anak perempuan kan... Kalo udah nikah ‘kan bakti utamanya nanti untuk suami. Biar gak nyesel ingin ini itu atau malah jadi kekanakan pasca nikah karena ada fase yang gak dijalani. Sevisinya kita sama pasangan kan pasti tetep ada hal-hal yang kita beda cara mikirnya. Walau sepanjang hidup kita belajar, pastikan belajarnya kita di rumahtangga bukan trial and error. Pastikan belajarnya anak kita bukan dari sikap kekanakan. Miris mendengar cerita anak yang tidak tumbuh dengan bahagia akibat orangtua kandung dan orangtua di sekolah yang kurang dewasa.

Jangan sampailah nikah muda jadi janda/duda muda. Kasian Gempi #ehh

Saat punya komitmen di awal, berjuanglah untuk tidak mengakhirinya kecuali dengan maut. Kalau rumus pasangan itu cinta ditambah kasih, saat sudah tidak sanggup mencintai, jangan sampai rasa mengasihi juga dihilangkan. Sudah kodratnya manusia tidak ada yang sempurna dan akan menua. Tinggal urusan syukur ikhlas untuk saling nerima.

(Postingan ini mengompilasikan beberapa draft tulisan di laptop saya yang kebetulan saya juduli dengan kata 'Dear' sebagai awalan. Tidak benar-benar relevan dengan kondisi saya saat ini, cuma sedikit banyaknya beginilah perspeksi saya. Hanya membagi hasil ngahuleng aja jadi kalau kemana-mana harap maklum mhehe)

Comments

Popular posts from this blog

Belajar Bahasa Prancis #1 : Kata Ganti Orang (Pronom Sujet)

Rasanya Kuliah di Sastra Perancis...

DELF A2 – Je l’ai passée!